Opini - Yanti Rahminur
Di era digital yang ditandai dengan kecepatan informasi dan keterbukaan akses, komunikasi pejabat publik tidak lagi bisa dilakukan secara konvensional dan tertutup.
Perkembangan teknologi telah menciptakan masyarakat yang menuntut kejelasan, respons cepat, serta komunikasi yang jujur dan terbuka dari para pemangku jabatan publik.
Pejabat publik kini berada dalam sorotan yang nyaris tak pernah padam. Perkataan, tindakan, dan bahkan ekspresi mereka bisa dengan mudah direkam, dibagikan, dan ditafsirkan ulang dalam hitungan detik melalui media sosial dan berbagai platform digital lainnya.
Dalam konteks ini, komunikasi bukan sekadar penyampaian informasi, tetapi menjadi representasi dari akuntabilitas dan integritas pejabat tersebut.
Tempo dalam artikelnya menyoroti bagaimana inkonsistensi dan kurangnya kontrol terhadap pernyataan pejabat pemerintah memunculkan kebingungan di masyarakat (Tempo, 2024).
Hal serupa juga diangkat oleh BBC Indonesia (2024), yang menggarisbawahi bagaimana komunikasi publik yang semrawut dapat menurunkan kepercayaan publik terhadap pemerintahan.
Transformasi Komunikasi Publik di Era Digital
Dalam lanskap kontemporer, dinamika komunikasi publik telah mengalami transformasi yang cepat dan fundamental, bergerak melampaui diseminasi informasi satu arah yang tradisional.
Pemerintah tidak lagi dapat hanya mengandalkan metode konvensional seperti siaran pers atau konferensi; terdapat tuntutan yang kuat dan mendesak untuk dialog yang lebih dinamis dan kolaborasi yang erat dengan masyarakat.
Pergeseran mendasar ini menuntut agar hubungan masyarakat (Humas) pemerintah beradaptasi secara proaktif terhadap evolusi lanskap komunikasi.
Munculnya media sosial telah memperbesar secara dramatis peluang maupun tantangan bagi komunikasi pejabat. Media sosial menjadi arena utama di mana kebijakan dikritisi, dipersepsikan, dan tak jarang disalahartikan. Algoritma yang memprioritaskan konten sensasional atau emosional (Tufekci, 2015), memperburuk penyebaran hoaks dan memperdalam polarisasi.
Fenomena ini menciptakan paradoks: karakteristik digital—kecepatan, jangkauan, dan partisipasi pengguna—memungkinkan hubungan yang lebih interaktif antara pejabat dan masyarakat, namun sekaligus meningkatkan risiko salah tafsir, krisis narasi, dan kehilangan kendali terhadap persepsi publik.
Menuju Komunikasi Pemerintah yang Efektif dan Terpadu
Dari sudut pandang komunikasi politik, berbagai blunder komunikasi bisa dilihat sebagai cacat dalam manajemen strategi komunikasi. Komunikasi politik bukan sekadar menyampaikan pesan, tetapi strategi membentuk legitimasi dan kepercayaan (McNair, 2011).
Menurut McNair, komunikasi politik adalah pertarungan untuk menguasai narasi. Bila narasi yang dibentuk tidak selaras, maka publik akan menerima pesan yang membingungkan, bahkan kontraproduktif.
Jürgen Habermas (1989) melalui konsep public sphere menegaskan bahwa komunikasi publik idealnya menciptakan ruang dialog rasional antara pemerintah dan warga negara. Sayangnya, alih-alih menjadi forum deliberatif, ruang publik saat ini justru sering kali dipenuhi oleh retorika yang provokatif tanpa klarifikasi memadai.
Untuk itu, prinsip one voice dalam komunikasi strategis menjadi krusial—bukan untuk menyeragamkan pendapat, melainkan agar setiap pernyataan pejabat selaras dengan kerangka besar narasi kebijakan. Ketidakterpaduan komunikasi hanya akan memperburuk disonansi, membingungkan publik, dan menciptakan celah untuk disinformasi.
Komunikasi pemerintah yang efektif sangat penting untuk keberhasilan kebijakan, menuntut komunikator tidak hanya mahir dalam kebijakan itu sendiri tetapi juga sangat mampu terlibat dalam dialog yang bermakna dengan publik.
Secara akademis, komunikasi dapat dikonseptualisasikan dalam berbagai cara: sebagai tindakan satu arah (model linear), sebagai interaksi (menekankan sebab-akibat dengan umpan balik), atau sebagai proses transaksional (berfokus pada pembentukan makna yang lebih dalam dan bersama).
Model komunikasi awal, seperti model linear Shannon & Weaver, terutama berfokus pada transmisi pesan teknis, sementara model yang lebih maju seperti model interaktif Schramm memperkenalkan elemen penting umpan balik dan "bidang pengalaman" baik pengirim maupun penerima.
Model transaksional Barnlund lebih lanjut menyoroti pengaruh mendalam dari konteks sosial, relasional, dan budaya dalam proses pertukaran pesan dan pembangunan hubungan.
Ke depan, infrastruktur komunikasi pemerintahan perlu diperkuat. Mulai dari pelatihan komunikasi publik bagi pejabat, pembentukan tim komunikasi strategis lintas lembaga, hingga penunjukan juru bicara nasional yang dapat menyampaikan pesan resmi secara konsisten.
Tanpa perbaikan yang serius, blunder komunikasi akan terus terjadi—dan lebih dari sekadar menjadi bahan candaan di media sosial, hal tersebut bisa menjadi ancaman serius terhadap kepercayaan publik.
Dalam dunia yang semakin terhubung, kepercayaan adalah mata uang utama. Dan sekali hilang, membangunnya kembali jauh lebih sulit dari sekadar menyusun ulang strategi komunikasi.***
Tentang Penulis: Yanti Rahminur, S.S., M.Ikom, Praktisi di Lembaga Penyiaran Publik Radio Republik Indonesia, Dosen di Universitas Dian Nusantara Prodi Ilmu Komunikasi, Asesor Skema Penyiar Variety Show di LSP RRI